Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 05 Juni 2013

PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF BESERTA PERBEDAANNYA


PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
BESERTA PERBEDAANNYA
Makalah
Disusun guna untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Metodologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Bpk. Abdul Mutholib, S.Ag.,  M.Pd.



Di susun oleh: 
Muchammad ‘Izzul Ma’aly
111516

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
2013

BAB I
PENDAHULUAN
I.         Latar Belakang
Mahasiswa merupakan agen pembaharuan, baik dari segi akhlak maupun ilmu pengetahuan. Karena ditangan mahasiswalah sebuah bangsa dapat meraih sebuah  kejayaan, dan kejayaan sendiri tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah tindakan riil. Salah satunya adalah dengan cara meneliti sebuah obyek/masalah tertentu, kemudian hasilnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Bagi seorang mahasiswa penelitian bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi. Dan disetiap inovasi pastilah membutuhkan sebuah penelitian yang digunakan untuk merperkuat argumen. Dalam melakukan sebuah penelitan, kita membutuhkan sebuah metode. Metode tersebut antara lain metode penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Kita menggunakannya sesuai dengan kebutuhan saat penelitian. Seperti saat menyusun skripsi ataupun dalam mencari sebuah penemuan ilmu baru.

II.      Rumusan Masalah
1.    Apa definisi penelitian itu?
2.    Apa yang dimaksud dengan penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif?
3.    Bagaimana perbedaan diantara kedua metode tersebut?


BAB II
PEMBAHASAN

1.        Pengertian Penelitian
Penelitian dapat diartikan sebagai suatu dialog yang terjadi secara terus menerus antara dua jenis kenyataan, yaitu antara agreement reality dan experiential reality. Penelitian merupakan suatu usaha menghubungkan kenyataan empirik dengan teori. Karena dalam penelitian kualitatif, penelitian dilakukan bukan dalam rangka menguji teori atau hipotesis, melainkan menemukannya.
Teori dalam penelitian kuantitatif bersifat a priori yang disusun secara deduktif dan logis, sedangkan teori dalam penelitian kualitatif disusun melalui dasar (grounded) ditemukan melalui induktif. Teori yang ditemukan melalui dasar itu memenuhi dua kriteria, yaitu sesuai dengan situasi empiris dan fungsi teori, yaitu : meramalkan, menerangkan, menafsirkan, dan mengaplikasikan.
Adapun meneliti adalah mencari data yang akurat. Maka dari itu, seorang peneliti harus memakai instrumen penelitian. Dalam ilmu-ilmu alam, teknik, dan ilmu-ilmu empirik lainnya, instrumen penelitiannya memakai termometer untuk mengukur suhu, timbangan untuk mengukur berat. Dan semua itu sudah ada, sehingga tidak perlu lagi untuk membuat instrumen penelitian. Berbeda dengan penelitian sosial, kebanyakan instrumen yang akan digunakan untuk meneliti tidak ada. Sehingga peneliti harus membuat atau mengembangkannya sendiri. Supaya instrumen dapat dipercaya, maka perlu adanya validitas dan reliabilitas.[1]

2.        Definisi Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif
Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berintraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (McMillan & schumantar, 2003). Penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagi jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (strauss & corbin, 2003).[2]
Berdasarkan pada filsafat konstruktif, penelitian kualitatif mengasumsikan realita sebagai sesuatu yang dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Interaksi dengan individu dan pengalaman berbagai peristiwa dipahami berdasarkan pemahaman subjektif. Peneliti yang menggunakan metode kualitatif percaya bahwa realita adalah suatu bentuk sosial. Dengan kata lain, yang menjadi persepsi mereka adalah segala hal yang mereka sadari betul “nyata” hal yang membuat mereka melakukan sesuatu, berfikir, dan merasakan sesuatu.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti dilibatkan dalam situasi maupun  fenomena yang sedang dipelajari. Dan juga mengasumsikan fungsi intraksi sosial dengan cara pendekatan interaktif dan interaksi aktif. Dengan kata lain, dengan penelitian kualitatif ini, peneliti lebih mempersiapkan instrumen “orang” dari pada instrumen lain.
Adapun istilah pendekatan kuantitatif sering kali juga disebut sebagai metode ilmiah, empirik, behavioristik, positivistik, fungsionalis, deduktif, makro, klasik, tradisional, reduksionis, atomistik, dan masih banyak lagi. Walaupun demikian metode yang digunakan dalam ilmu alam tidaklah selalu sinonim dengan statistika inferensial, karena ia meliputi proses induksi analitik. Dalam induksi analitik peneliti bergerak dari suatu data menuju formulasi hipotesis untuk menguji dan memverifikasinya (Znaniecki dan Lindesmith, dalam brannen, Ed., 1992).[3]
Pendekatan kuantitatif melaksanakan penelitian dengan cara yang sistematik, terkontrol, empirik, dan kritis mengenai hipotesis hubungan yang diasumsikan di antara fenomena alam. Pendeatan ini memandang bahwa kebenaran dapat ditemukan bila kita dapat menyingkirkan “campur tangan” manusia dalam melakukan penelitian, atau dengan perkataan lain bahwa peneliti harus mengambil jarak dengan obyek yang diteliti. Penelitian kuantitatif ini lebih menekankan kepada cara fikir yang lebih positivistik yang bertitik tolak dari fakta sosial yang ditarik dari realitas obyektif.
Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang bekerja dengan angka, yang datanya berwujud bilangan (nilai, peringkat, atau frekuensi) yang dianalisis dengan menggunakan statistik untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian yang sifatnya spesifik dan untuk melakukan prediksi bahwa suatu variabel tertentu mempengaruhi variabel yang lain (Creswell, 2002). Oleh karena itu penelitian kuantitatif secara tipikal dikaitkan dengan proses induksi enumeratif, yaitu menarik kesimpulan berdasar angka dan melakukan abstraksi berdasar generalisasi. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menemukan seberapa banyak karekteristik yang ada dalam populasi induk mempunyai karekteristik seperti yang terdapat pada sampel.[4]

3.        Perbedaan Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Secara tradisional terdapat jurang antara penelitian kualitatif dan kuantiatatif, dimana masing-masing memiliki paradigma yang sedikit berbeda (Layder, 1988). Perbedaan antara kedua paradigma itu berkaitan dengan tingkat pembentukan pengetahuan dan proses penelitian.[5]
Menurut Soegiyanto (1989) perbedaan antara paradigma kualitatif dengan kuantitatif dapat dilihat pada argumentasi klasik dalam filsafat realisme dan idealisme. Dapat  juga dikatakan bahwa pertanyaan disandarkan pada hubungan dunia luar dengan proses mengetahui (knowing). Sedangkan menurut Burges (1985) menyarankan untuk tidak mempertentangkan secara berlebihan antara pendekatan kualitatif dengan kuantitatif, walaupun banyak kontra antara keduanya. Karena kedua metode tersebut justru saling melengkapi (complement each other). Berbagai teknik pendekatan sangat bermanfaat untuk topik tertentu. Sebagaimana untuk mengetahui masalah sosial tertentu memakai metode kualitatif, sedangkan untuk mengetahui aspek distribusi atau korelasi yang relevan dipilih pendekatan kuantitatif.
Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sempel tertentu, teknik pengambilan sempel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositvisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang ilmiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sempel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.[6]
Jadi, metode penelitian kualitatif cocok dipakai dalam masalah yang belum jelas, lingkup yang kecil, sehingga penelitian lebih mendalam dan bermakna. Sementara itu, penelitian kuantitatif dipakai dalam lingkup yang lebih besar. Metode kualitatif cocok untuk menemukan hipotesis/teori, sedangkan kuantitatif sebagai penguji hipotesis/teori.



[1] Sugiyono. 2010. Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D). Bandung: ALFABETA, hlm. 50
[2] Syamsuddin  & Vismaia S. Damaianti. 2009. Metode penelitain pendidikan bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 73
[3] Asmadi Alsa. 2003. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian Psikologi. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, hlm. 12
[4] Ibid, hlm. 13
[5] Julian Brannen. 2002. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 9
[6] Sugiyono. 2010. Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D). Bandung: ALFABETA, hlm. 14-15

HADITS NABI BESERTA PEMBAGIANNYA

-->
HADITS NABI
 BESERTA PEMBAGIANNYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu  : Bapak Ahmad Zaini,Lc,M.S.I.




Disusun Oleh:

M. ‘Izzul Ma’aly              (111516)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PBA
2012


PENDAHULUAN
Pembukuan hadits baru bisa dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir 100 tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan hadits-hadits yang beraedar di kalangan kaum muslimin menjadi debatable, meskipun mereka telahj meneliti dengan seksama.
Bekal pengetahuan ilmu hadits menjadi sangat bermanfaat bagi para peneliti dan pengkaji hadits. Karena untuk mempelajari dan mengkaji hadits-hadits Nabi, seseorang tidak bisa mengabaikan ilmu hadits ini. Dengan ilmu ini, para ulama dahulu dapat mengetahui kualitas hadits, apakah ia shahih, hasan, atau dhoif. Dengan ilmu ini dapat dibedakan jenis dan bentuk hadits, apakah mutawatir atau ahad, mansyur, aziz, atau gharib, qudsi, atau maqthu’, dan sebagainya. Dengan ilmu ini pula ia dapat mengetahui apakah hadits ini benar-benar berasal dari Nabi atau bukan (palsu, maudhu’). 


Rumusan Masalah
1.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya?
2.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?



PEMBAGIAN HADITS

A.     HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA

1.      Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’ yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya[1]. Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut:
Menurut Nur Ad-Din mendefinisikan
مَارَوَاهُ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ نُحِيْلُ اْلعَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الكَذِبِ.
 “Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra”.
Ø  Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
b.      Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya
c.       Berdasarkan tanggapan panca indra
Ø  Pembagian Hadits Mutawatir
a.       Mutawatir Lafzhi
b.      Mutawatir Ma’nawi
c.       Mutawatir Amali
Ø  Hadits Mutawatir mempunyai nilai ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir tersebut, hingga membawa keyakinan yang qath’I (pazti).

2.      Hadits Ahad
Al-ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang[2].
Sedangkan hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai berikut:
ما لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا و اثنين او ثلاثا او اربعة او خمسة او الى غير ذلك من الاعداد التى لا تشعر بأن الخبر دخل بها فى خبر المتواتر.
 “Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawi itu satu,  dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan “tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari Rasulullah SAW dan tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur”.

Ø  Pembagian Hadits Ahad
a.       Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa al-dzuyu’: sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Menurut istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pila setelah mereka”.

b.      Hadits Ghair Masyhur
Hadits ghair masyhur ini oleh ulama ahli hadits digolongkan menjadi aziz dan gharib.
1.      Hadits Aziz
Aziz bisa berasal dari ‘azza-ya’izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya’azzu berarti qawiya(kuat). Secara istilah yaitu hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad”.
2.      Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya).

B.     HADITS DI TINJAU DARI KUALITASNYA

1.Hadits Maqbul
            Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz(yang diambil) dan  mushaddaq(yang di benarkan atau di terima). Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang telah sempurna padanya,syarat-syarat penerimaan[3].
            Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, di riwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.
            Dalam pada itu, tidak semua hadits maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadits maqbul ada yang ma’mulun bih  yakni hadits yang bias diamalkan dan ada yang ghair ma’mulin bih yakni hadits yang tidak bisa diamalkan. Yang ma;mulun bih adalah hadis muhkam, yakni hadis yang telah memberikan pengertian jelas; mukhtalif, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari dua buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung pengertian bertentangan; Rajih, yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis nasikh, yakni hadis yang menasakh terhadap hadis, yang datang terlebih dahulu. Sedangkan yang ghair ma’mulin bih adalah hadis marjuh, yakni hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat, mansukh, yakni hadis yang telah dinasakh(dihapus), dan hadis mutawaquf fih, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadis  boleh dengan lainnya yang belum diselesaikan.
            Dilihat dari ketentuan-ketentuan hadis maqbul seperti diuraikan di atas, maka hadis maqbul digolongkan menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hasan .

2. Hadits Mardud
            Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedangkan mardud menurut istilah ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.
            Para ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu’ . dan pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari diterima-tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis shahih, hasan, dha’if.
            Menurut Ibnu Taymiyah, ulama yang membagi hadis menjadi tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu Isa Al-Tirmidzi, karena ia banyak meriwayatkan hadis dan memberikan keterangan periwayatan dengan kata, misalnya hadis “shahih hasan gharib”.

A.     Hadits shahih
Sahih menurut bahasa lawan dari kata saqim[4]. Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah, benar, sempurna sehat, pasti”. Pengertian hadis sahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-mutaqaddimin(sampai abad III). Mereka pada umumnya hanya memberika penjelasan mengenai criteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah”Tidak diterima periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
1.      Syarat-syarat hadits sahih
·         Sanadnya bersambung(ittishal al-sanad)
·         Perawinya adil
·         Perawinya dhabit
·         Tidak syadz (janggal)
·         Tidak ber-illat (ghair mu’allal)

2.      Macam-macam hadits sahih
Para ulama membagi hadis sahih ini di bagi menjadi dua macam,yaitu:
a.       Shahih li dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sebuah hadis maqbul (a’la sifat al-qubul)
       Hal itu bias terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke-dhabit—annya, ia dinilai kurang. Hadis ini menjadi sahih karena ada hadis lainyang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui  jalur lain yang setingkat  atau malah lebih shahih.

B.     Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang di senangi dan dicondongi oleh nafsu[5]. sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara hadis sahih dan hadis dha’if, yang dapat dijadikan hujjah. Memang menurut sejarah ulama yang  mula-mula memunculkan istilah”Hasan” bagi suatu jenis hadis yang berdiri sendiri adalah Imam Al-Tirmidzi.

1.      Syarat-syarat hadits hasan
·          Sanadnya bersambung
·         Perawinya adil
·         Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke dhabitan nya dibawah perawi hadis sahih
·         Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
·         Tidak ber’illat

2.      Macam-macam  hadits hasan
Para ulama ahli hadis membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu:
A.     Hadis hasan li dzatih
Pengertian hadis hasan li dzatih,sebagaimana pengertian diatas,yaitu hadis hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna ,dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
Hadis hasan li dzatihi ini bias baik derajatnya menjadi hadis shahih (li ghairihi) bila ada hadis lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad yang lain. Sebagai contohnya adalah hadis al-tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi salamah dari Abi Hurairah.
B.     Hasan li ghairihi
           Secara singkat, hasan li ghairihi ini terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui keahlianya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. Begitulah para ulama memberikan batasan hadis jenis ini, termasuk ibnu Al-shalah.
           Jadi system periwayatnnya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa(mitslahu) maupun mirip(nahwahu).
           Jadi hadis dha;if yang bias naik kedudukannya menjadi hadis hasan ini, hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah. Sementara hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis mudhu’, hadis munkar dan hadis matruk, betapapun adanya shyahid dan muttabi’ kedudukannya tetap sebagai hadis dha’if, tidak bias berubah menjadi hadis hasan.

C.      Hadits Dla’if
Hadis yang di dalamnya tidak terdapat ciri ke-sahih-an dan ke-hasan-an.  Di dalamnya terdapat: periwayat pendusta atau tertuduh dusta, banyak membuat kekeliruan, suka pelupa, suka maksiat dan fasik, banyak angan-angan, menyalahi periwayat kepercayaan, periwayatnya tidak dikenal, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.[6]
Pembagian hadis da’if menurut ulama membagi menjadi berbagai macam tergantung di mana letak kelemahannya. Kelemahan tersebut bisa terjadi dalam lima hal, sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai salah satu syarat hadis sahih. Berikut ini diagram macam-macam hadis da’if berikut letak kelemahannya:[7]
No.
Catatan Kelemahan
Nama
Keterangan
1.
Sanad Terputus

Secara Jelas
Mu'allaq
 Hadis yang dibuang di permulaan sanadnya baik yang dibuang itu hanya seorang maupun banyak.
Mursal
Hadis yang nama periwayat pertama di tingkat sahabat digugurkan atau tidak disebut namanya.
Mu'dal
Hadis yang gugur periwayatnya sebanyak dua atau lebih periwayat secara berturut-turut.
Munaqati'
Hadis yang periwayatnya gugur atau disebutkan periwayat yang tidak jelas.
Secara Sembunyi
Mudallas
Menyembunyikan aibnya dalam sanad dan membaguskan dlahirnya.
Mursal chafi
Periwayat tidak pernah bertemu dan mendengar langsung hadis yang diriwayatkannya dan dinyatakan bertemu, namun sejatinya tidak demikian.
2.
Cacat Rawi

Secara Adil
Mawdu'
Hadis yang dibuat dan seakan-akan dari Rasulullah saw.
Matruk
Hadis yang  dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta dan nampak kefasikannya.
Secara Kedabitan
Munkar
Hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang sangat jelek hafalannya atau banyak kesalahan atau nampak sifat fasiqnya.
Ma’ruf
Hadis yang diriwayatkan oleh rawi kepercayaan menyalahi atau menyelisihi hadis yang diriwayatkan oleh rawi da’if.
Mu'allal
Hadis yang mengandung cacat yang dapat menodai kesahihan
Mudraj
Hadis yang sanad atau matannya terdapat suatu tambahan.
Maqlub
Hadis yang terbalik lafalnya pada matan, nama seseorang atau nasabnya dalam sanad.
Mazid fi Muttasil al-Asanid
Adanya penambahan periwayat tertentu dalam suatu sanad.
Mudtorib
Hadis yang didalamnya masih terdapat perselisihan.
Al-mushahhaf
Perubahan kalimat dalam hadis kepada yang selain apa yang diriwayatkan oleh rawi tsiqat baik berupa lafadz maupun berupa arti.
Syadz
Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul menyelisihi orang yang utama dari padannya.
Majhul
Tidak di ketahuinya identitas pribadi seseorang rawi atau keadaanya.
Bid’ah
Kejadian baru dalam ajaran agama sesudah sempurna, atau perkara baru sesudah nabi saw. Baik berupa keingina-keinginan atau perbuatan-perbuatan.
Su’ul hifdli
Orang yang segi kebenarannya tidak dapat dikekuatkan atas segi kesalahannya.
Gambaran hadis yang da'if di atas, masih dapat diperkaya karena jumlah yang diinvetarisir oleh ulama hadis sangat banyak. Adapun pandangan ulama atas hadis yang lemah adalah:
1.       Dipelopori oleh Ibn Sayid al-Nas, Abu Bakar ibn 'Arabi, Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm, tidak memakai hadis da'if secara mutlak, baik untuk fadail a'mal ataupun dalam bidang hukum.
2.       Dipelopori Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, Abdurrahman al-Mahdi dan Abdullah ibn Mubarak, yang menyatakan bahwa mengamalkan hadis da'if secara mutlak  dengan alasan hadis da'if masih lebih baik dibanding dengan pendapat manusia.
3.       Ibn Hajar al-'Asqalani, menggunakan hadis yang lemah dalam hal fadail a'mal dengan syarat tertentu sanadnya tidak terlalu lemah, hadis tersebut menerangkan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam hadis sahih, seperti tentang keutamaan shalat duha, tidak disandarkan secara pasti melalaui Nabi Muhammad saw. [8]



PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami susun, semoga dapat membawa manfaat bagi pemakalah khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini.














DAFTAR PUSTAKA


Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al Kabir li Al-Rafi’i, juz II (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978)
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 1989. Usul Al-Hadis| 'Ulumuh wa Mustalahuh.Beirut: Dar al-Fikr.
 Ibnu Taimiyah, Ilmu Al Hadits,(Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1989)
Suparta,Munzir.2002.Ilmu Hadits.Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
Thahhan, Mahmud. 1997. Ulumul hadis studi komplesitas hadis nabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press & LP2KI.




[1] Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al Kabir li Al Rafi’i, juz II (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978),hlm.321.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,2002,hlm.110.
[3] Munzir Suparta,op.cit,hlm.124
[4] Ibnu Taimiyah, Ilmu Al Hadits,(Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1989).hlm 31.
[5] Ibid,hlm.141.
[6]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib. Hlm., 337.
[7]Zainal Muttaqin. 1997. Ulumul hadits. Yogyakarta: titian ilahi press. Hlm. 75-134
[8]Op Cit. 351.